Friday, 10 June 2011

Suksesi Mikroba dalam Proses Pengomposan ( Dekomposisi bahan organik )

mikroba_dekomposer

Gambar terjadinya suksesi mikroba pada proses pengomposan kelapa sawit.

Proses dekomposisi organik secara umum terjadi pada tiga tahap, pertama dekomposisi aerobik yang mendominasi keseluruhan proses, tahap ini biasanya sangat pendek karena terbatas pada jumlah oksigen dan nilai BOD yang tinggi dari sampah padat. Setelah oksigen menurun, dekomposisi oleh organisme fakultatif anaerobik lah yang mendominasi. Selama tahap ini volatil fatty acid dalam jumlah yang besar diproduksi. Asam ini menurunkan pH hingga antara 4-5. Dengan pH yang rendah membantuk bahan anorganik melarut, bersamaan dengan konsentrasi volatil acid yang meningkat, menghasilkan kekuatan ion yang tinggi. Tahap kedua dari proses anaerobik terjadi ketika jumlah bakteri methanogenesis meningkat. Volatil acid yang diproduksi oleh bakteri fakultatif anaerobik dan bahan organik lain dirubah menjadi metana dan karbondioksida.
Proses pengomposan sebenarnya kerja dari banyak organisme, termasuk mikroba. Kalau diamati secara seksama terjadi semacam suksesi mikroba. Suksesi ini bisa diamati secara khasat mata. Namun, proses yang terjadi sebenarnya lebih seru dan lebih rumit.


Pada gambar terlihat mikroba-mikroba yang sedang aktif mendekomposisi bahan organik. Bakteri sedikit terlihat karena tertutup oleh matrik gel, sedangkan miselia jamur tampak jelas terlihat.
Dekomposisi sampah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik dapat mengakibatkan produksi gas bio. Secara garis besar proses pembentukan gas bio dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi (pengasaman) dan pembentukan gas metana (Sufyandi, 2001). Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptida dan asam amino. Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana.

Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2 dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam.

Komposisi gas bio berkisar antara 60 – 70% metana dan 30 – 40% karbon dioksida. Gas bio mengandung gas lain seperti karbon monoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen hidrogen sulfida, kandungan gas tergantung dari bahan yang masuk ke dalam biodigester. Nitrogen dan oksigen bukan merupakan hasil dari proses. Hidrogen merupakan hasil dari tahap pembentukan asam, pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri sulfat disebabkan oleh konsentrasi ikatan sulfur. Walaupun hanya sedikit tetapi dapat mencapai 5 % untuk beberapa kotoran (Meynell, 1976).Metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dibanding dengan karbondioksida, selain mudah meledak diketahui merupakan faktor utama pada fenomena pemanasan global (Qasim,1994). Sedangkan untuk karbondioksida dapat menjadi penyebab peningkatan mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik (Damanhuri, 2004). Untuk itu perlu pengelolaan dari gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah.


Sumber :
http://kharistya.wordpress.com/2005/12/31/metana-sebagai-hasil-dari-dekomposisi-bahan-organik-di-tpa-dan-lindi-sebagai-sumber-pencemar-air-tanah/

http://isroi.wordpress.com/2009/02/02/suksesi-mikroba-dalam-proses-pengomposan/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos

UPAYA KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE


Hasil gambar untuk mangrove segara anakan cilacap


Hasil gambar untuk mangrove

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara pemiliki ekosistem mangrove terluas di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia (FAO, 1982) dalam Winarno dan Setyawan (2003), namun luasan mangrove berkurang sangat cepat. Degradasi hutan mangrove umumnya disebabkan reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan garam. Di samping itu diakibatkan pula oleh penebangan hutan (Hussein, 1995), konversi hutan kayu putih, pertambangan, pembendungan sungai, pencemaran lingkungan , tumpahan minyak, pertanian, dan bencana alam (Nybakken, 1993). Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konservasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya (Mangrove Information Centre, 2003).

Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove (Mangrove Information Centre, 2003). Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen, dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai (Mangrove Information Centre, 2003). Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secara keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri (Mangrove Information Centre, 2003).

Hasil gambar untuk mangrove

Luas hutan mangrove di Indonesia terus berkurang dengan cepat karena tingginya aktifitas manusia dan konversi lahan mangrove untuk kepentingan lain. Luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 adalah sekitar 4.251.100 ha, sedangkan pada tahun 1996 luas mengalami penurunan menjadi 3.533.600 ha. Salah satu kawasan hutan mangrove yang mengalami penurunan luasan dengan cepat adalah di Segara Anakan yang termasuk hutan mangrove paling luas di pulau Jawa ( Jennerjahn and Yuwono, 2009 ). Menurut Tirtakusumah (1994), secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu:

a. Faktor manusia
yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan.

b. Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil.

Sedangkan menurut Kusmana et al (1995), ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu: (1) Pencemaran, yang meliputi pencemaran minyak dan pencemaran logam berat, (2) Konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan factor lingkungan, meliputi: budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik, produksi garam, perkotaan, pertambangan dan penggalian pasir, (3) Penebangan yang berlebihan.

Mengingat kawasan pesisir sebagai salah satu habitat lahan basah bagi beberapa spesies migran maka perlu upaya konservasi dan pengelolaan yang melibatkan para stakeholder termasuk masyarakat adat setempat. Hal ini disebabkan karena kondisi kawasan pesisir terlihat sepintas telah mengalami kerusakan baik secara alami oleh gempuran ombak dan aktivitas manusia seperti pengambilan pasir/ tanah untuk dijual serta pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar dan bangunan. Dengan demikian perlu tindakan preventif sesegera mungkin dan perlu dipikirkan alternatif pengelolaannya. Memang banyak tantangan dan resiko yang harus dihadapi namun perlu upaya perlindungan atau konservasi terhadap lahan basah tersebut untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang (Bumbut, 2008). Hanson (1988) dalam Dahuri (2002) mengatakan bahwa upaya konservasi mangrove dapat dilakukan dengan 1) perencanaan sumberdaya alam secara terpadu, 2) pengelolaan sumberdaya alam mangrove harus berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi dimana langkah pertama yang harus ditempuh adalah menjaga mangrove dari kerusakan, 3) pengelolaan dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian (sustainable basis). Sedangkan menurut Rahmawaty (2006), cara konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan secara berkelanjutan dan kearifan lokal antara lain dengan 1) pendekatan teknis menggunakan silvofishery, 2) pendekatan Bottom Up dalam upaya pelestarian mangrove, dan 3) Strategi dan Pelaksanaan Rencana. Rusila, et al (1999), menambahkan bahwa upaya pelestarian mangrove dapat dilakukan dengan kebijakan jalur hijau dan rencana tata ruang.


II. PEMBAHASAN

Perlunya konservasi ekosistem mangrove karena mangrove mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya di daerah pesisir. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Selain itu, mangrove juga berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat (Dahuri et al., 1996). Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata, artinya hubungan kedua wilayah tersebut harus dijaga kelestariannya terutama keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove harus dipertimbangkan, sehingga keanekaragaman hayati ekosistem tersebut tetap tinggi. Dari pentingnya peran mangrove maka pengelolaannya selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik. Selain itu mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flo resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Menurut Soeranegara dan Indrawan (1982), secara ekologis berfungsi sebagai lindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun sebagai habitat berbagai fauna, diantaranya sebagai pelindung abrasi/erosi; gelombang; angin kencang, sebagai tempat mencari makan; memijah; berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pengendali intrusi laut, sebagai pengontrol penyakit malaria, menjaga kualtas air (mereduksi poutan pencemar air), serta sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan yang laian. Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara.

Hasil gambar untuk mangrove segara anakan cilacap
Laguna Segara Anakan, Cilacap

Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupan seperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan. Menurunnya ekosistem mangrove karena stress anthropogenik yaitu aktifitas manusia disebabkan karena untuk mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan mangrove. 

Hal-hal yang mendorong manusia untuk memanfaatkan mangrove menurut Perum Perhutani (1994), antara lain :

a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah.
b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang.
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove.
d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional.

Kerusakan mangrove karena cemaran minyak dan logam berat dapat berasal dari limbah buangan rumah tangga yang dibuang melalui DAS akan berhenti mengumpul dikawasan laguna yang menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan laguna sehingga akan mengurangi luasan mangrove. Banyaknya konversi lahan mangrove menjadi areal tambak, perluasan lahan pertanian, pembangunan dermaga, pemukiman dan kegiatan konversi yang lain juga dapat mengurangi luasan mangrove. Penyebab yang paling mengancam kepunahan ekosistem mangrove dalah penebangan yang berlebihan yaitu untuk kepentingan ekonomi tanpa meperhatikan kelestariannya. Wilayah pesisir yang dapat direhabilitasi dengan mangrove adalah muara-muara sungai berlumpur dan terpengaruh pasang surut air laut, kawasan-kawasan konservasi alam yang hutan mangrovenya mengalami kerusakan, dan tambak-tambak rakyat yang dikelola dengan pola silvofishery. Aspek keuntungan yang diperoleh dengan model ini adalah dapat meningkatkan lapangan kerja(aspek social), mengatasi masalah pangan dan energy(aspek ekonomi), serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi). Tujuan pendekatan ini yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem mangrove. Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan ikan, pihak perum perhutani secara tidak langsung menjalin hubungan kerjasama dengan masyarakat yang saling menguntungkan. Pola yang digunakan yaitu dengan polakomplangan dan empang parit (Rahmawaty, 2006).

Hasil gambar untuk mangrove segara anakan cilacap
labirin laguna segara anakan


Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan dan pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom-up. Menurut Sudarmadji (2001) hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, Karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong sebenarnya milik mereka bersama. Tujuannya agar pemerintah hanyalah memerikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secra berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dengan demikian secara tidak langsung pendekatan bottom up menumbuhkan adanya partisipasi dan memebrikan proses pendidikan kepada masyarakat.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Jalur hijau adalah zona perlindungan mangrove yang dipertahankan di sepanjang pantai dan tidak diperbolehkan untuk ditebang, dikonversikan atau dirusak. Fungsi jalur hijau pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan pantai dari ancaman erosi serta untuk mempertahankan fungsi mangrove sebagai tempat berkembangbiak dan berpijah berbagai jenis ikan.

Agar tercapainya upaya konservasi ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. Menurut Rahmawaty (2006), upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan a)Sosialisasi, dilakukan di desa lokasi kegiatan untuk menyampaikan dan menginformasikan maksud dan tujuan dari kegiatan. b)Penyuluhan; dalam kegiatan penyuluhan yang disampaikan adalah fungsi dan manfaat mangrove baik secara ekologi maupun fungsi jasa sosial hutan mangrove yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan pemanfaatan mangrove. c) Pembentukan kelompok binaan, hal ini bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan pelatihan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi ekosistem hutan mangrove. Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove hendaknya pemerintah lebih banyak melibatkan masyarakat dengan pendekatan bottom up.

III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Luasan hutan mangrove terus menerus berkurang, hal ini yang menjadi ancaman bagi ekosistem mangrove sehingga perlu dilakukan upaya konservasi.

2. Penyebab menurunnya ekosistem mangrove disebabkan karena faktor alam dan faktor manusia. Namun, yang dominan adalah karena ulah manusia yang tidsk bertanggung jawab yaitu dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peduli terhadap kelestarian mangrove.

3. Upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove yaitu dengan cara perencanaan sumberdaya alam secara terpadu, pengelolaan sumberdaya alam mangrove harus berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi, pengelolaan dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian (sustainable basis). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara pendekatan kepada masyarakat yaitu pendekatan teknis menggunakan silvofishery, pendekatan Bottom Up , Strategi dan Pelaksanaan Rencana, dan kebijakan jalur hijau dan rencana tata ruang.

4. Agar tercapainya usaha konservasi ekosistem mangrove maka perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove yaitu dengan sosialisasi, penyuluhan, dan pembentukan kelompok binaan.

Amorphophallus gigas Teijsm. & Binn

Amorphophallus gigas Teijsm. & Binn   Bunga langka koleksi Kebun Raya Bogor telah mekar sempurna pada Minggu (6/10/2019) den...