Sunday 16 October 2011

LAPORAN PRAKTIKUM FITOPATOLOGI: PENGENALAN PENYEBAB PENYAKIT PADA TANAMAN

PENGENALAN PENYEBAB PENYAKIT PADA TANAMAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanaman dikatakan sakit bila ada perubahan seluruh atau sebagian organ tanaman yang menyebabkan terganggunya kegiatan fisiologis sehari-hari. Secara singkat penyakit tanaman adalah penyimpangan dari keadaan normal. Penyebab sakit bermacam-macam antara lain cendawan, bakteri, virus, kekurangan air, kekurangan atau kelebihan unsur hara (Pracaya, 1999).
Berbagai penyakit yang umumnya timbul misalnya bercak daun, kudis, penyakit gosong, penyakit layu, penyakit karat dan penyakit embun tepung. Penyebabnya berbeda-beda, misal penyakit layu dapat disebabkan oleh bakteri ataupun jamur. Pengetahuan mengenai berbagai jenis mikroorganisme yang menyebabkan penyakit sangat diperlukan, sehingga kita bisa merencanakan bagaimana cara penanganan penyakit tersebut (Pracaya, 1999).
Penyebab penyakit dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu biotik atau parasit dan abiotik atau non parasit. Biotik yaitu penyebab penyakit yang sifatnya menular atau infeksius, msalnya jamur, bakteri, nematoda, mycoplasma dan tanaman tinggi parasitik. Abiotik yaitu penyebab penyakit yang sifatnya tidak menular atau non infeksius. Penyakit-penyakit karena penyebab abiotik sering disebut penyakit fisiologis/fisiogenis, sedangkan patogennya disebut fisiopath. Fisiopath tersebut antara lain kondisi cuaca yang tidak menguntungkan, kondisi tanah yang kurang baik, dan kerusakan karena mekanik dan zat-zat kimia (Semangun, 1994).


B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui berbagai penyebab penyakit pada tanaman.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit tanaman dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu penyakit sistematik dan penyakit lokal. Penyakit sistematik adalah penyakit yang menyebar ke seluruh tubuh tanaman, sehingga seluruh tanaman akan menjadi sakit. Penyakit lokal adalah penyakit yang hanya tedapat disuatu tempat atau bagian tertentu, misalnya pada buah, bunga, daun, cabang, batang atau akar (Sunaryono, 1981).
Penyakit tanaman merupakan penyimpangan dari sifat normal yang menyebabkan tanaman tidak dapat melakukan kegiatan fisiologis seperti biasanya. Ada tiga faktor yang mendukung timbulnya penyakit yaitu tanaman inang, penyebab penyakit, dan faktor lingkungan. Tanaman inang adalah tanaman yang diserang oleh patogen. Patogen ada dua yaitu fisiopath yang bukan organisme dan parasit yang meruapakan organisme seperti jamur, bakteri, dan virus (Motoredjo, 1989). Fisiopath merupakan faktor lingkungan yang tidak tepat bagi tanaman, misalnya suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi, adanya gas beracun yang berasal dari pencemaran ataupun hasil samping metabolisme tanaman itu sendiri dan kurangnya unsur hara pada tanah (Pyenson, 1979). Cendawan yang menjadi patogen pada tanaman, mengganggu proses-proses fisiologis pada tanaman yang menjadi inangnya. Gangguan yang terus- menerus yang merugikan aktivitas tanaman disebut penyakit tanaman. Cendawan merugikan tanaman dalam hal pengangkutan zat cair dan garam mineral, mengganggu proses fotosintesa, serta mengganggu pengangkutan hasil-hasil proses fotosintesa. Cendawan dapat merusak akar, batang, daun, bunga dan buah, serta hasil tanaman di tempat penyimpanan (Tjahjadi, 1995).

Salah satu penyebab penyakit pada tanaman adalah jamur. Jamur masuk ke dalam divisio Thallopyhta, subdivisi fungi. Jamur adalah organisme yang tubuh vegetatifnya (struktur somatisnya) merupakan talus tidak mempunyai berkas pengangkutan. Struktur somatisnya biasanya berbentuk benang halus bercabang-cabang, mempunyai dinding sel yang tersusun oleh khitin, selulosa, serta mempunyai inti sejati. Patogen yang lainnya adalah virus dan bakteri. Bakteri patogen mempunyai penyebaran dari tanaman satu ke tanaman yang lain melalui air, serangga, hewan laindan manusia (Triharso, 1996). Menurut Donowidjojo dkk (1999), reproduksi jamur pada umumnya dengan pembentukan spora sebagai hasil dari proses reproduksi aseksual dan seksual. Reproduksi jamur dapat dibagi menjadi dua yaitu:

1. Reproduksi aseksulal

Umumnya reproduksi seksual melibatkan beberapa metode dimana individu baru dapat diperbanyak dari induknya. Proses tersebut tidak melibatkan penyatuan inti, gamet atau gametogenium (sex organ). Reproduksi aseksual dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a. Fragmentasi yaitu proses pembelahan sel-sel pada miselium/hifa. Fragmen hifa dari jamur tertentu dalam sel-sel disebut oidium atau arthospora. Kadang-kadang pada sel-sel terminal atau interkalar dalam bangkakan hifa disebut klamidospora.
b. Fission dari talus uniseluler.
c. Budding yaitu reproduksi jamur secara aseksual dengan cara membentuk tunas/kuncup.
d. Spora aseksual pada suatu spesies berfungsi dalam perbanyakan/multiplikasi, perbanyakan, penyebaran, dan perthanan hidup. Terdapat dua kelompok besar spora aseksual yang dikenal yaitu:
 Sporangiospora yaitu spora yang dihasilkan di dalam sporangium. Sporangiospora pada jamur tingkat rendah dapat motile (planospora) dan non motil (aplanospora).
 Konidium. Ada dua tipe konidium yang dikenal yaitu thallospora dan konidiospora. Thallospora dibentukm dalam hifa dengan perkembangan sel-sel terminal atau interkalar. Thallospora terdiri dari dua yaitu oidium atau arthospora dan klamidosprora. Konidiospora dibentuk pada ujung hifa khusus disebut konidiofor. Konidium dan konidiofor dapat dikelompokkan dalam sporofor yang terdiri dari piknidium, aservulus, sporodosium, dan sinnema.

2. Reproduksi seksual

Reproduksi seksual pada jamur selalu melibatkan 2 inti haploid yang kompatibel. Dibagi ke dalam 3 fase yaitu:
a. Plasmogami yaitu percampuran antara 2 sel seksual. Plasmogami terdiri dari 5 tipe yaitu:
 Kopulasi planogamet yaitu suatu cara reproduksi seksual dimana gamet yang motil bercampur. Kopulasi planogamet terdiri dari 3 tipe yaitu:
• Isogamet yaitu reproduksi secara seksual yang berlangsung dengan persatuan antara gamet jantan atau betina yang mempunyai bentuk dan ukuran yang sama
• Anisogamet yaitu reproduksi secara seksual yang berlangsung dengan persatuan antara gamet jantan dan betina yang mempunyai bentuk sama tetapi ukurannya berbeda
• Heterogamet yaitu reproduksi secara seksual yang berlangsung dengan persatuan antara gamet jantan dan betina yang sama sekali berbeda baik bentuk maupun ukurannya.
 Kontak gametogonium yaitu suatu cara plasmogami dimana gamet kedua gametetangium diresedur menjadi protoplas dan hanya satu inti dari masing-masing yang berfungsi dalam kariogami.
 Kopulasi gametangium yaitu suatu cara reproduksi seksual dimana terjadi percampuran yang menyeluruh dari gametangium.
 Spermatisasi yaitu pemindahan spermatium atau mikrokonidium dari spermogonium kepada hifa reseptif. Spermogonium yaitu struktur yang menyerupai piknidium pada Uredinales. Hifa reseptif yaitu hifa yang dikhususkan untuk menerima spermatium sehingga terjadi spermatisasi.
 Somatogami yaitu percampuran sel-sel somatik pada proses plasmogami menggantikan sel seksual.
b. Kariogami yaitu percampuran antara dua inti
Semua jamur tumbuhan menghabiskan hampir sebagian hidupnya pada tumbuhan inangnya dan sebagian di dalam tanah atau sisa tumbuhan di dalam tanah. Beberapa jamur melewati seluruh hidupnya pada inangnya dan mungkin hanya spora yang mendarat di tanah, tetapi spora tersebut tidak aktif sampai terbawa kembali ke inang tempat mereka dapat tumbuh dan memperbanyak diri. Bakteri penyebab penyakit tanaman merugikan tanaman dalam hal pengangkutan air, proses fotosintesa, pengangkutan zat makanan dan proses fisiologisnya. Bakteri dapat mengeluarkan enzim hipertropi yang akan mengakibatkan tanaman menderita paru (kanker atau bengkak) pada akar, batang, daun, dan buah (Tjahjadi, 1995).

III. METODE

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum adalah mikroskop cahaya dan satu set perlengkapan menggambar.
Bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah preparat awetan Puccinia graminis, P. arachidis, P. sorghii, Pyricularia sp, Ustilago zeae, Erysiphe sp, Venturia inaequalis, Fusarium sp, Cercospora sp, Phytophtora infestans, Plasmophora viticola dan Plasmodiophora brassicae.

B. Cara Kerja
1) Gejala penyakit pada tumbuhan / bagian yang sakit diamati dan digambar.
2) Diamati dan dicatat gejala penyakit yang ada.
3) Gejala yang sudah digambar dicocokkan dengan pustaka.

C. Lokasi dan Waktu
Praktikum pengenalan penyebab penyakit tanaman dilakukan di laboratorium Mikologi dan Fitopatologi Fakultas Biologi Unsoed Purwokerto pada hari Selasa, 13 Oktober 2009.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Penyakit karat (rust) disebabkan oleh cendawan Puccinia graminis (karat pada daun serelia), P. arachidis (karat pada daun kacang tanah), dan P. shorgii (karat daun shorgum). gejala dari penyakit ini adalah terdapatnya bintil pada daun yang berwarna kuning kemerahan, seperti warna karat besi (Tjahjadi, 1995). Gejala pada tanaman jagung yang terinfeksi penyakit karat adalah adanya bisul (pustules = sori), terutama pada daun. Bisul terbentuk pada kedua permukaan daun bagian atas dan bawah. Bisul dengan warna coklat kemerahan tersebar pada permukaan daun dan berubah warna menjadi hitam kecoklatan setelah teliospora berkembang. Pada saat terjadi penularan berat, daun menjadi kering. Pengendalian Penyakit karat dapat dikendalikan dengan cara:
• Penanaman varietas tahan (Arjuna, Bromo, Rama, C3, Pioneer-2, Pioneer- 3, CPI-2, Semar-1, Semar-2).
• Aplikasi fungisida pada saat mulai tampak bisul karat pada daun.
Penyakit karat pada kacang tanah disebabkan oleh cendawan Puccinia arachidis dikenal sejak tahun 1970, setelah banyak varietas introduksi dikenalkan di Indonesia (Somaatmadja, 1967). Patogen ini menyerang daun kacang tanah biasanya bersama-sama dengan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Cercospora sp. dan akibat kedua penyakit ini, hasil tanaman kacang tanah menurun 27-38% (Sudjono, 1986). Pada umumnya varietas lokal kacang tanah sangat rentan terhadap penyakit ini. Gejala Penyakit karat cendawan Puccinia arachidis Speg. pada daun terdapat bercak-bercak coklat muda sampai coklat (warna karat). Daun gugur sebelum waktunya. Pengendaliannya dapat menggunakan varietas yang resisten, tanaman yang terserang dicabut dan dibakar. Sedangkan untuk pencegahan dapat menggunakan Natural GLIO pada awal tanam.
Penyakit yang disebabkan oleh Pucinia graminis disebut penyakit karat. Gejalanya ditunjukkan dengan adanya bercak-bercak seperti karat pada daun, pelepah dan baatng. Bercak-bercak berwarna kuning dilingkari warna merah di sebelah bawah permukaan daun yang sakit. Pucinia graminis mempunyai beberapa fase pertumbuhan meliputi fase piknium (0), fase aesium (I), fase uredium (II) dan fase telum (III). Piknium berbentuk botol atau cakra, badan buah ini sebagai pembawa alat kelamin jamur yaitu spermatium atau alat kelamin jantan dan hifa atau alat kelamin betina. Aesium berbentuk seperti mangkuk atau cawan yang menembus dinding epidermis daun. Uredium merupakan badan buah yang sel-selnya membentuk urediospora di bawah epidermis yang kemudian mendeasak epidermis hingga rusak. Telium adalah sekelompok sel berinti dua yang membentuk teiospora. Jamur ini menyebabkan penyakit karat pada daun serealia, misalnya gandum. Penyebaran spora secara jarak jauh misalnya dengan bantuan angin dapat terjadi karena jamur ini mempunyai spora yang tahan terhadap kekeringan dan sinar matahari yang disebut dengan urediospora. Penyebaran yang seperti itu menyebabkan penyakit yang kosmopolitis atau tersebar seluruh dunia (Semangun, 2001).

Puccinia arachidis menyebabkan penyakit karat pada daun kacang-kacangan. Gejala yang ditimbulkan adalah pada daun yang terserang akan muncul bintil-bintil yang berwarna kuning kemerahan seperti warna karat pada besi. Tanaman yang terserang berat akan mati dan terserang ringan hanya akan menurunkan produksi hingga 30-50% (Martoredjo, 1989).
Penyakitnya disebut karat daun pada sorghum. Gejalanya adalah bercak kuning pada daun. Puccinia sorghii membentuk urediosorus panjang atau bulat panjang pada daun. Epidermis pecah sebagian dan masa spora akan dibebaskan menyebabkan urediosorus berwarna coklat atau coklat tua. Urodiospora yang masak akan berubah menjadi hitam bila teliospora terbentuk (Semangun, 2001).
Phyricularia sp menyebabkan penyakit bercak daun pada daun jagung. Gejala dapat ditunjukkan dari bercak coklat tua mengering. Bercak daun mempunyai tepi yang jelas, bergelang, berwarna coklat muda kekuningan, agak basah, lalu mengering menjadi berwarna coklat keputihan dan berbintik hitam. Serangan parah penyakit ini menyebabkan kerobohan tanaman (Semangun, 2001).
Ustilago zeae menyebabkan penyakit yang menyerang tanaman jagung terutama pada tongkolnya. Tongkol yang diserang kelihatannya membengkak ada yang kecil dan ada yang besar, mula-mula jamur ini berwarna keputihan sebab masih tertutup membran. Kemudian berubah menjadi lebih tua, ungu muda dan menyerang tongkol, daun, kuncup-kuncup buku pada batang, pada rangkaian bunga, dan bagian-bagian yang lain Pembengkakan telah masuk membran yang menutup menjadi kering dan pecah kemudian akan keluar spora berbentuk tepung kering yang hitam. Jamur ini biasanya menginfeksi pada tanaman jagung yang telah setinggi 30 cm-1,5 m dan tongkolnya baru keluar rumbai-rumbai (Pracaya, 1995).
Eryshipe sp menyebabkan penyakit bernama embun tepung kacang-kacangan. Gejalanya mula-mula pada permukaan atas daun terdapat bercak putih yang menutupi seluruh permukaan daun. Serangan parah menyebabkan daun layu dan rontok (Semangun, 2001). Penyakit ini menyerang pada waktu musim panas, jamur yang membentuk miselium tebal yang menutupi daun, batang, bunga dan buah. Penyakit ini juga menyebabkan tanaman gagal berbuah. Jamur tepung dapat disebabkan oleh angin (Pracaya, 1995).
Venturia ineaqualis menyebabkan penyakit kudis pada buah apel. Gejala yang umum dijumpai pada daun dan buah yaitu mula-mula adanya bintik-bintik hijau olive, lama kelamaan makin luas dan tertutup oleh lapisan berwarna coklat hitam yang merupakan kumpulan miselium dan konidium jamur penyebab penyakit (Sastrahidayat, 1996). Menurut Tjahjadi (1995) menyatakan bahwa bercak tembus pandang pada daun lama-kelamaan bercak tersebut menjadi bergabus. Warna mula-mula kuning bening kemudian menjadi coklat seperti kudis. Penyebaran spora oleh angin, serangga ataupun alat-alat pertanian.

Fusarium sp. menyebabkan penyakit layu pada tomat. Gejala yang ditimbulkannya patogen akan menyerang pembuluh xylem tanaman sehingga tanaman kehilangan turgor dan layu. Jika dibelah pembuluh di dalam berwarna coklat (Martoredjo, 1989). Jamur mengadakan infeksi melalui akar, terutama melalui luka-luka, atau melalui luka pada akar yang terjadi akibat munculnya akar lateral. Jamur memakai bermacam-macam luka untuk jalan infeksinya, misalnya luka karena pemindahan bibit, karena pembumbunan, atau luka karena serangga. Jamur dapat menginfeksi buah, sehingga terdapat kemungkinan bahwa jamur terbawa oleh biji. Jamur tersebar setempat-setempat karena pengangkutan bibit, tanah yang terbawa angin atau air oleh alat pertanian (Semangun, 2001).
Penyakit layu Fusarium disebabkan oleh cendawan Fusarium oxysporium. Layu Fusarium terjadi karena media tanaman terlalu masam dan basah/lembab berlebihan. Gejala serangan ditandai dengan memucatnya tulang daun sampai berubah menjadi coklat keabu-abuan, kemudian diikuti dengan menunduknya tangkai yang membusuk. Apabila perbatasan antara akar dan batang dipotong, maka akan terlihat cincin cokelat kehitaman diikuti busuk basah pada berkas pembuluh (Emirgarden, 2008). Prawirodihardjo (1984), menambahkan adakalanya daun menguning dan tanaman kerdil. Apabila serangannya hebat warna daun menjadi coklat dan buahnya kecil-kecil.
Cercospora sp. menyebabkan penyakit bercak daun pada daun kacang tanah. Jamur ini membentuk konidium pada kedua sisi daun, walaupun lebih banyak pada sisi atas. Stroma kecil dengan garis tengah 25-100 µm, coklat tua. Konidiofor membentuk rumpun kecil, 5 sampai banyak berwarna cokelat kehijauan pucat atau coklat kekuningan, pangkalnya lebih gelap, mempunyai bengkokan seperti lutut, bersekat 15-45 x 3-6 µm. Serangannya disebut ’bercak daun awal’ (early leaf spot) (Semangun, 2001).

Penyakit bercak daun kacang tanah yang disebabkan oleh Cercospora ditandai dengan adanya bercak kecil berbentuk bulat kering. Bercak meluas sampai garis tengahnya ± 0.5 cm. pusat bercak berwarna pucat sampai putih. Daun menguning dan mudah gugur. Selain daun, penyakit ini menyerang juga batang-batang tangkai buah. Pada musim kemarau dan pada lahan yang mempunyai drainase yang baik, penyakit ini kurang berkembang. Penyakit ini, kadang-kadang menyerang persemaian (Dasperlintan, 2008). Phytophtora infestans menyebabkan penyakit hawar daun kentang, yaitu merupakan penyakit yang paling merusak tanaman kentang. Gejalanya daun yang sakit terlihat adanya bercak-bercak pada ujung dan tepi daunnya dan dapat meluas kebawah serta mematikan dalam waktu 1-4 hari jika udara lembab. Seluruh daun akan menghitam, layu dan menjalar ke seluruh batang. Sisi bawah daun kelihatan jamur kelabu yang terdiri dari konidiospora dengan konidianya. Umbinya juga dapat diserang sehingga menjadi busuk basah maupun busuk kering. Permukaan umbi terdapat bercak yang sedikit cekung sedalam 3-6 mm, warnanya coklat atau hitam keunguan dan bagian yang terserang penyakit relatif keras (Pracaya, 1995). Menurut Prawirodihardjo (1984), penyakit busuk pada kentang disebabkan oleh sejenis cendawan karat Phytophtora infestans. Daun bagian bawah terdapat bercak-bercak kelabu kekuningan dan bentuknya tidak teratur. Bercak tersebut lama-kelamaan menjadi kecoklatan, tumbuh bulu-bulu halus keputihan (kumpulan spora yang mudah berpindah ke tanaman lain). Bercak daun menyebar cepat ke bagian batang dan akar, dan tanaman akan segera mati. Umbi kentang yang sudah terkena serangan Phytophtora infestans akan mudah menulari umbi kentang yang lainnya sehingga kentang tersebut bila disimpan akan cepat membusuk sehingga tidak mungkin digunakan lagi dan apabila ditanam lagi, tunas yang tumbuh masih tetap membawa bibit penyakit sehingga dengan mudah menulari tanaman sekitarnya.

Plasmophora viticola menyebabkan penyakit embun tepung pada tanaman anggur. Jamur ini menyerang daun, tangkai daun, sulur, bunga, buah, tunas dan batang anggur. Gejala ditunjukan dengan permukaan bawah terdapat bercak putih susu dari bulu-bulu halus yang merupakan konidiospora dan spora. Bercak-bercak yang tua akan menjadi coklat karena matinya jaringan daun di kedua belah permukaan. Serangan hebat mengakibatkan tunas menjadi kerdil memilin dan selanjutnya daun juga menjadi kecil sehingga tunas mati. Bunga yang terserang maka akan mati, buah muda akan terhambat pertumbuhannya dan besarnya berkurang. Permukaan buah kelihatan ada jamur yang warnanya abu-abu, buah menjadi hitam kering dan keriput (Pracaya, 1995).
Penyakit embun tepung (powdery mildew) dapat disebabkan oleh Plasmophora viticola (embun tepung anggur), dan Erysiphe sp. (embun tepung kacang-kacangan). Gejala awal ditandai dengan adanya tepung putih pada daun terbawah dari tanaman. daun yang terserang kemudian menjadi kuning, coklat dan akhirnya mengering. Lama kelamaan daun akan terserang semua dan dapat mengakibatkan kematian pada tanaman. Cendawan berkecambah pada saat suhu rendah dan lembab, sedangkan pada cuaca panas, kering dan angin merupakan kondisi yang cocok untuk penyebaran spora ke tanaman inang lain (Tjahjadi, 1995).

Plasmodiphora brassicae menyebabkan penyakit akar pekuk kubis-kubisan. Penyakit pada suatu sistem perakaran dengan gejala akar-akarnya menjadi membesar dan menyatu seperti gada sehingga disebut akar gada atau setiap akar membentuk seperti jari kaki sehingga disebut juga penyakit jari kaki. Tanaman yang diserang akan menjadi kerdil dan warna daun menjadi abu-abu. Akar yang pernah terinfeksi jika terkena infeksi sekunder bisa menjadi busuk (Pracaya, 1995). Plasmodiophora brassicae merupakan cendawan patogenik dari kelas Plasmodiophoromycetes. Cendawan ini mempunyai nilai ekonomi yag penting karena penyebarannya yang dapat menyebabkan akar pekuk pada kubis. Siklus hidupnya diawali ketika germinasi kista. Tiap kista akan melepaskan zoospore yang dapat menginfeksi tanaman inang (Alexopoulus and Mims, 1979).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Penyebab penyakit tanaman dapat disebabkan oleh bakteri, virus, ataupun jamur.

2. Karat daun pada kacang-kacangan disebabkan oleh Puccinia arachidis. Karat daun pada serealia disebabkan oleh Puccinia graminis. Karat daun pada sorghum disebabkan oleh Puccinia sorghii. Embun tepung pada kacang-kacangan disebabkan oleh Eryshipe sp. Gosong pada jagung disebabkan oleh Ustilago zea. Bercak daun pada pisang disebabkan oleh Phyricularia sp. Kudis pada apel disebabkan oleh Venturia ineaqualis. Layu pada tanaman tomat disebabkan oleh Fusarium oxyporum. Bercak daun pada kacang-kacangan disebabkan oleh Cercospora sp. Embun tepung pada anggur disebabkan oleh Plasmophora viticola. Hawar pada daun kentang disebabkan oleh Phytophtora infestans Akar pekuk pada kubis-kubisan disebabkan oleh Plasmodiphora brassicae

DAFTAR REFERENSI

Alexopoulus, C.J. and C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology. Third Edition. John Willey and Sons, New York.

Dasperlintan. 2008. Metode Pengamatan Opt Tanaman Sayuran.

Donowidjojo, S., H. A. Djatmiko dan N. Prihatiningsih. 1999. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman, Purwokerto.
Emirgarden, 2008. Penyakit Tanaman Hias. http//www.balitdeptan.go.id.

Martoredjo, T. 1989. pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan, Bagian dari Perlindungan Tanaman. Andi Offset, Yogyakarta.

Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

_________. 1999. Hama dan Penyakit Tanaman. Penebar Swadaya, Jakarta.

Prawirodihardjo, S. 1984. Mengenal Hama dan Penyakit Tanaman. CV. Indrapres, Yogyakakarta

Pyenson, L. 1979. Fundamental Of Entomology and Plant Patology. Avi Publishing Co. Wasport Press, Yogyakarta.

Sastrahidayat, I. R. 1996. Penyakit-Penyakit Tanaman Holtikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

_____________. 1994. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Somaatmadja, S. 1967. Pemuliaan Kacang Tanah. Lembaga Pusat Penelitian Pertanian Bogor.

Sudjono, M.S. 1986. Pengaruh Penyakit Karat ( P. Arachis) dan Penyakit Bercak Daun ( Cercospora Sp.) Terhadap Hasil Kacang Tanah. Palawija 2:356-362. Pengelolaan Penyakit Prapanen Jagung.

Sunaryono, H. 1981. Pengantar Pengetahuan Dasar Hortikultura. Sinar Baru, Bandung.
Tjahjadi, N. 1995. hama dan Penyakit Tanaman. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Triharso. 1996. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Friday 10 June 2011

Suksesi Mikroba dalam Proses Pengomposan ( Dekomposisi bahan organik )

mikroba_dekomposer

Gambar terjadinya suksesi mikroba pada proses pengomposan kelapa sawit.

Proses dekomposisi organik secara umum terjadi pada tiga tahap, pertama dekomposisi aerobik yang mendominasi keseluruhan proses, tahap ini biasanya sangat pendek karena terbatas pada jumlah oksigen dan nilai BOD yang tinggi dari sampah padat. Setelah oksigen menurun, dekomposisi oleh organisme fakultatif anaerobik lah yang mendominasi. Selama tahap ini volatil fatty acid dalam jumlah yang besar diproduksi. Asam ini menurunkan pH hingga antara 4-5. Dengan pH yang rendah membantuk bahan anorganik melarut, bersamaan dengan konsentrasi volatil acid yang meningkat, menghasilkan kekuatan ion yang tinggi. Tahap kedua dari proses anaerobik terjadi ketika jumlah bakteri methanogenesis meningkat. Volatil acid yang diproduksi oleh bakteri fakultatif anaerobik dan bahan organik lain dirubah menjadi metana dan karbondioksida.
Proses pengomposan sebenarnya kerja dari banyak organisme, termasuk mikroba. Kalau diamati secara seksama terjadi semacam suksesi mikroba. Suksesi ini bisa diamati secara khasat mata. Namun, proses yang terjadi sebenarnya lebih seru dan lebih rumit.


Pada gambar terlihat mikroba-mikroba yang sedang aktif mendekomposisi bahan organik. Bakteri sedikit terlihat karena tertutup oleh matrik gel, sedangkan miselia jamur tampak jelas terlihat.
Dekomposisi sampah, khususnya zat organik dalam kondisi anaerobik dapat mengakibatkan produksi gas bio. Secara garis besar proses pembentukan gas bio dibagi dalam tiga tahap yaitu: hidrolisis, asidifikasi (pengasaman) dan pembentukan gas metana (Sufyandi, 2001). Pada tahap hidrolisis, bahan organik dienzimatik secara eksternal oleh enzim ekstraselular (selulose, amilase, protease dan lipase) mikroorganisme. Bakteri memutuskan rantai panjang karbohidrat komplek, protein dan lipida menjadi senyawa rantai pendek. Sebagai contoh polisakarida diubah menjadi monosakarida sedangkan protein diubah menjadi peptida dan asam amino. Pada tahap ini bakteri menghasilkan asam, mengubah senyawa rantai pendek hasil proses pada tahap hidrolisis menjadi asam asetat, hidrogen (H2) dan karbondioksida. Bakteri tersebut merupakan bakteri anaerobik yang dapat tumbuh dan berkembang pada keadaan asam. Untuk menghasilkan asam asetat, bakteri tersebut memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari oksigen yang terlarut dalam larutan. Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada proses selanjutnya. Selain itu bakteri tersebut juga mengubah senyawa yang bermolekul rendah menjadi alkohol, asam organik, asam amino, karbondioksida, H2S, dan sedikit gas metana.

Pada tahap ini bakteri metanogenik mendekomposisikan senyawa dengan berat molekul rendah menjadi senyawa dengan berat molekul tinggi. Sebagai contoh bakteri ini menggunakan hidrogen, CO2 dan asam asetat untuk membentuk metana dan CO2. Bakteri penghasil asam dan gas metana bekerjasama secara simbiosis. Bakteri penghasil asam membentuk keadaan atmosfir yang ideal untuk bakteri penghasil metana. Sedangkan bakteri pembentuk gas metana menggunakan asam yang dihasilkan bakteri penghasil asam. Tanpa adanya proses simbiotik tersebut, akan menciptakan kondisi toksik bagi mikroorganisme penghasil asam.

Komposisi gas bio berkisar antara 60 – 70% metana dan 30 – 40% karbon dioksida. Gas bio mengandung gas lain seperti karbon monoksida, hidrogen, nitrogen, oksigen hidrogen sulfida, kandungan gas tergantung dari bahan yang masuk ke dalam biodigester. Nitrogen dan oksigen bukan merupakan hasil dari proses. Hidrogen merupakan hasil dari tahap pembentukan asam, pembentukan hidrogen sulfida oleh bakteri sulfat disebabkan oleh konsentrasi ikatan sulfur. Walaupun hanya sedikit tetapi dapat mencapai 5 % untuk beberapa kotoran (Meynell, 1976).Metana merupakan gas rumah kaca yang lebih berbahaya dibanding dengan karbondioksida, selain mudah meledak diketahui merupakan faktor utama pada fenomena pemanasan global (Qasim,1994). Sedangkan untuk karbondioksida dapat menjadi penyebab peningkatan mineral pada air tanah serta membentuk asam karbonik (Damanhuri, 2004). Untuk itu perlu pengelolaan dari gas yang dihasilkan dari dekomposisi sampah.


Sumber :
http://kharistya.wordpress.com/2005/12/31/metana-sebagai-hasil-dari-dekomposisi-bahan-organik-di-tpa-dan-lindi-sebagai-sumber-pencemar-air-tanah/

http://isroi.wordpress.com/2009/02/02/suksesi-mikroba-dalam-proses-pengomposan/

http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos

UPAYA KONSERVASI EKOSISTEM MANGROVE


Hasil gambar untuk mangrove segara anakan cilacap


Hasil gambar untuk mangrove

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara pemiliki ekosistem mangrove terluas di dunia. Dari 15,9 juta ha mangrove dunia, sekitar 4,25 juta ha (27%) berada di Indonesia (FAO, 1982) dalam Winarno dan Setyawan (2003), namun luasan mangrove berkurang sangat cepat. Degradasi hutan mangrove umumnya disebabkan reklamasi untuk membangun tambak udang, ikan, dan garam. Di samping itu diakibatkan pula oleh penebangan hutan (Hussein, 1995), konversi hutan kayu putih, pertambangan, pembendungan sungai, pencemaran lingkungan , tumpahan minyak, pertanian, dan bencana alam (Nybakken, 1993). Hutan mangrove di Indonesia berada dalam ancaman yang meningkat dari berbagai pembangunan, diantara yang utama adalah pembangunan yang cepat yang terdapat di seluruh wilayah pesisir yang secara ekonomi vital. Konservasi kemanfaatan lain seperti untuk budidaya perairan, infrastruktur pantai termasuk pelabuhan, industri, pembangunan tempat perdagangan dan perumahan, serta pertanian, adalah penyebab berkurangnya sumber daya mangrove dan beban berat bagi hutan mangrove yang ada. Selain ancaman yang langsung ditujukan pada mangrove melalui pembangunan tersebut, ternyata sumber daya mangrove rentan terhadap aktivitas pembangunan yang terdapat jauh dari habitatnya (Mangrove Information Centre, 2003).

Ancaman dari luar tersebut yang sangat serius berasal dari pengelolaan DAS yang serampangan, dan meningkatnya pencemar hasil industri dan domestik (rumah tangga) yang masuk ke dalam daur hdrologi. Hasil yang terjadi dari erosi tanah yang parah dan meningkatnya kuantitas serta kecepatan sedimen yang diendapkan di lingkungan mangrove adalah kematian masal (dieback) mangrove yang tidak terhindarkan lagi karena lentisel-nya tersumbat oleh sedimen tersebut. Polusi dari limbah cair dan limbah padat berpengaruh serius pada perkecambahan dan pertumbuhan mangrove (Mangrove Information Centre, 2003). Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen, dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkalai (Mangrove Information Centre, 2003). Di seluruh Indonesia ancaman terhadap mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi produk kayu sangat beragam, tetapi secara keseluruhan biasanya terjadi karena penebangan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan HPH atau industri pembuat arang seperti di Sumatera dan Kalimantan. Kayu-kayu mangrove sangat jarang yang berkualitas tinggi untuk bahan bangunan. Kayu-kayu mangrove tersebut biasanya dibuat untuk chip (bahan baku kertas) atau bahan baku pembuat arang untuk diekspor keluar negeri (Mangrove Information Centre, 2003).

Hasil gambar untuk mangrove

Luas hutan mangrove di Indonesia terus berkurang dengan cepat karena tingginya aktifitas manusia dan konversi lahan mangrove untuk kepentingan lain. Luas hutan mangrove di Indonesia tahun 1982 adalah sekitar 4.251.100 ha, sedangkan pada tahun 1996 luas mengalami penurunan menjadi 3.533.600 ha. Salah satu kawasan hutan mangrove yang mengalami penurunan luasan dengan cepat adalah di Segara Anakan yang termasuk hutan mangrove paling luas di pulau Jawa ( Jennerjahn and Yuwono, 2009 ). Menurut Tirtakusumah (1994), secara garis besar ada dua faktor penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu:

a. Faktor manusia
yang merupakan faktor dominan penyebab kerusakan hutan mangrove dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan.

b. Faktor alam, seperti : banjir, kekeringan dan hama penyakit, yang merupakan faktor penyebab yang relatif kecil.

Sedangkan menurut Kusmana et al (1995), ada tiga faktor utama penyebab kerusakan hutan mangrove, yaitu: (1) Pencemaran, yang meliputi pencemaran minyak dan pencemaran logam berat, (2) Konversi hutan mangrove yang kurang memperhatikan factor lingkungan, meliputi: budidaya perikanan, pertanian, jalan raya, industri serta jalur dan pembangkit listrik, produksi garam, perkotaan, pertambangan dan penggalian pasir, (3) Penebangan yang berlebihan.

Mengingat kawasan pesisir sebagai salah satu habitat lahan basah bagi beberapa spesies migran maka perlu upaya konservasi dan pengelolaan yang melibatkan para stakeholder termasuk masyarakat adat setempat. Hal ini disebabkan karena kondisi kawasan pesisir terlihat sepintas telah mengalami kerusakan baik secara alami oleh gempuran ombak dan aktivitas manusia seperti pengambilan pasir/ tanah untuk dijual serta pemanfaatan mangrove untuk kayu bakar dan bangunan. Dengan demikian perlu tindakan preventif sesegera mungkin dan perlu dipikirkan alternatif pengelolaannya. Memang banyak tantangan dan resiko yang harus dihadapi namun perlu upaya perlindungan atau konservasi terhadap lahan basah tersebut untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi mendatang (Bumbut, 2008). Hanson (1988) dalam Dahuri (2002) mengatakan bahwa upaya konservasi mangrove dapat dilakukan dengan 1) perencanaan sumberdaya alam secara terpadu, 2) pengelolaan sumberdaya alam mangrove harus berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi dimana langkah pertama yang harus ditempuh adalah menjaga mangrove dari kerusakan, 3) pengelolaan dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian (sustainable basis). Sedangkan menurut Rahmawaty (2006), cara konservasi yang dapat dilakukan adalah dengan secara berkelanjutan dan kearifan lokal antara lain dengan 1) pendekatan teknis menggunakan silvofishery, 2) pendekatan Bottom Up dalam upaya pelestarian mangrove, dan 3) Strategi dan Pelaksanaan Rencana. Rusila, et al (1999), menambahkan bahwa upaya pelestarian mangrove dapat dilakukan dengan kebijakan jalur hijau dan rencana tata ruang.


II. PEMBAHASAN

Perlunya konservasi ekosistem mangrove karena mangrove mempunyai peranan yang sangat penting, khususnya di daerah pesisir. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penghubung antara daratan dan lautan. Tumbuhan, hewan benda-benda lainnya, dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah daratan atau ke arah laut melalui mangrove. Selain itu, mangrove juga berperan sebagai filter untuk mengurangi efek yang merugikan dari perubahan lingkungan utama, dan sebagai sumber makanan bagi biota laut (pantai) dan biota darat (Dahuri et al., 1996). Jika mangrove tidak ada maka produksi laut dan pantai akan berkurang secara nyata, artinya hubungan kedua wilayah tersebut harus dijaga kelestariannya terutama keanekaragaman hayati yang berada di sekitar mangrove harus dipertimbangkan, sehingga keanekaragaman hayati ekosistem tersebut tetap tinggi. Dari pentingnya peran mangrove maka pengelolaannya selalu merupakan bagian dari pengelolaan habitat-habitat di sekitarnya agar mangrove dapat tumbuh dengan baik. Selain itu mangrove merupakan SDA yang dapat dipulihkan (renewable resources atau flo resources) yang mempunyai manfaat ganda (manfaat ekonomis dan ekologis). Menurut Soeranegara dan Indrawan (1982), secara ekologis berfungsi sebagai lindungan lingkungan ekosistem daratan dan lautan maupun sebagai habitat berbagai fauna, diantaranya sebagai pelindung abrasi/erosi; gelombang; angin kencang, sebagai tempat mencari makan; memijah; berkembang biak berbagai jenis ikan dan udang, pengendali intrusi laut, sebagai pengontrol penyakit malaria, menjaga kualtas air (mereduksi poutan pencemar air), serta sebagai penyerap CO2 dan penghasil O2 yang relatif tinggi dibanding tipe hutan yang laian. Berdasarkan sejarah, sudah sejak dulu hutan mangrove merupakan penyedia berbagai keperluan hidup bagi berbagai masyarakat lokal. Selain itu sesuai dengan perkembangan IPTEK, hutan mangrove menyediakan berbagai jenis sumber daya sebagai bahan baku industri dan berbagai komoditas perdagangan yang bernilai ekonomis tinggi yang dapat menambah devisa negara.

Hasil gambar untuk mangrove segara anakan cilacap
Laguna Segara Anakan, Cilacap

Menipisnya hutan mangrove menjadi perhatian serius negara-negara berkembang, termasuk Indonesia dalam masalah lingkungan dan ekonomi. Perhatian ini berawal dari kenyataan bahwa antara daerah antara laut dan darat ini, mangrove memainkan peranan penting dalam menjinakkan banjir pasang musiman (saat air laut pasang pada musim penghujan) dan sebagai pelindung wilayah pesisir. Selain itu, produksi primer mangrove berperan mendukung sejumlah kehidupan seperti satwa yang terancam punah, satwa langka, bangsa burung (avifauna) dan juga perikanan laut dangkal. Dengen demikian, kerusakan dan pengurangan sumber daya vita tersebut yang terus berlangsung akan mengurangi bukan hanya produksi dari darat dan perairan, serta habitat satwa liar, dan sekaligus mengurang keanekaragaman hayati, tetapi juga merusak stabilitas lingkungan hutan pantai yang mendukung perlindungan terhadap tanaman pertanian darat dan pedesaan. Menurunnya ekosistem mangrove karena stress anthropogenik yaitu aktifitas manusia disebabkan karena untuk mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan mangrove. 

Hal-hal yang mendorong manusia untuk memanfaatkan mangrove menurut Perum Perhutani (1994), antara lain :

a. Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah.
b. Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang.
c. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove.
d. Adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional.

Kerusakan mangrove karena cemaran minyak dan logam berat dapat berasal dari limbah buangan rumah tangga yang dibuang melalui DAS akan berhenti mengumpul dikawasan laguna yang menyebabkan sedimentasi dan pendangkalan laguna sehingga akan mengurangi luasan mangrove. Banyaknya konversi lahan mangrove menjadi areal tambak, perluasan lahan pertanian, pembangunan dermaga, pemukiman dan kegiatan konversi yang lain juga dapat mengurangi luasan mangrove. Penyebab yang paling mengancam kepunahan ekosistem mangrove dalah penebangan yang berlebihan yaitu untuk kepentingan ekonomi tanpa meperhatikan kelestariannya. Wilayah pesisir yang dapat direhabilitasi dengan mangrove adalah muara-muara sungai berlumpur dan terpengaruh pasang surut air laut, kawasan-kawasan konservasi alam yang hutan mangrovenya mengalami kerusakan, dan tambak-tambak rakyat yang dikelola dengan pola silvofishery. Aspek keuntungan yang diperoleh dengan model ini adalah dapat meningkatkan lapangan kerja(aspek social), mengatasi masalah pangan dan energy(aspek ekonomi), serta kestabilan iklim mikro dan konservasi tanah (aspek ekologi). Tujuan pendekatan ini yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dan memelihara ekosistem mangrove. Pola ini dipandang sebagai pola pendekatan teknis yang dianggap cukup baik, karena selain petani dapat memanfaatkan lahan untuk kegiatan pemeliharaan ikan, pihak perum perhutani secara tidak langsung menjalin hubungan kerjasama dengan masyarakat yang saling menguntungkan. Pola yang digunakan yaitu dengan polakomplangan dan empang parit (Rahmawaty, 2006).

Hasil gambar untuk mangrove segara anakan cilacap
labirin laguna segara anakan


Pelaksanaan rehabilitasi hutan mangrove dengan penekanan dan pemberdayaan masyarakat setempat ini biasa dikenal dengan istilah pendekatan bottom-up. Menurut Sudarmadji (2001) hasil dari kegiatan dengan pendekatan bottom up ini akan menjadikan masyarakat enggan untuk merusak hutan mangrove yang telah mereka tanam, sekalipun tidak ada yang mengawasinya, Karena masyarakat sadar bahwa kayu yang mereka potong sebenarnya milik mereka bersama. Tujuannya agar pemerintah hanyalah memerikan pengarahan secara umum dalam pemanfaatan hutan mangrove secra berkelanjutan, sebab tanpa arahan yang jelas nantinya akan terjadi konflik kepentingan dalam pengelolaan dalam jangka panjang. Dengan demikian secara tidak langsung pendekatan bottom up menumbuhkan adanya partisipasi dan memebrikan proses pendidikan kepada masyarakat.
Dalam kerangka pengelolaan dan pelestarian mangrove, terdapat dua konsep utama yang dapat diterapkan. Kedua konsep tersebut pada dasarnya memberikan legitimasi dan pengertian bahwa mangrove sangat memerlukan pengelolaan dan perlindungan agar dapat tetap lestari. Kedua kosep tersebut adalah perlindungan hutan mangrove dan rehabilitasi hutan mangrove (Bengen, 2001). Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam rangka perlindungan terhadap keberadaan hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove untuk dijadikan kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai.
Jalur hijau adalah zona perlindungan mangrove yang dipertahankan di sepanjang pantai dan tidak diperbolehkan untuk ditebang, dikonversikan atau dirusak. Fungsi jalur hijau pada prinsipnya adalah untuk mempertahankan pantai dari ancaman erosi serta untuk mempertahankan fungsi mangrove sebagai tempat berkembangbiak dan berpijah berbagai jenis ikan.

Agar tercapainya upaya konservasi ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan meningkatkan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove. Menurut Rahmawaty (2006), upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan a)Sosialisasi, dilakukan di desa lokasi kegiatan untuk menyampaikan dan menginformasikan maksud dan tujuan dari kegiatan. b)Penyuluhan; dalam kegiatan penyuluhan yang disampaikan adalah fungsi dan manfaat mangrove baik secara ekologi maupun fungsi jasa sosial hutan mangrove yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan pemanfaatan mangrove. c) Pembentukan kelompok binaan, hal ini bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan pelatihan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi ekosistem hutan mangrove. Dalam pelaksanaan pemulihan ekosistem mangrove hendaknya pemerintah lebih banyak melibatkan masyarakat dengan pendekatan bottom up.

III. KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Luasan hutan mangrove terus menerus berkurang, hal ini yang menjadi ancaman bagi ekosistem mangrove sehingga perlu dilakukan upaya konservasi.

2. Penyebab menurunnya ekosistem mangrove disebabkan karena faktor alam dan faktor manusia. Namun, yang dominan adalah karena ulah manusia yang tidsk bertanggung jawab yaitu dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa peduli terhadap kelestarian mangrove.

3. Upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove yaitu dengan cara perencanaan sumberdaya alam secara terpadu, pengelolaan sumberdaya alam mangrove harus berdasarkan pada basis ekologis atau filosofi konservasi, pengelolaan dilakukan berdasarkan pada prinsip-prinsip kelestarian (sustainable basis). Upaya lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara pendekatan kepada masyarakat yaitu pendekatan teknis menggunakan silvofishery, pendekatan Bottom Up , Strategi dan Pelaksanaan Rencana, dan kebijakan jalur hijau dan rencana tata ruang.

4. Agar tercapainya usaha konservasi ekosistem mangrove maka perlu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan aktif masyarakat dalam setiap kegiatan pengelolaan ekosistem mangrove yaitu dengan sosialisasi, penyuluhan, dan pembentukan kelompok binaan.

Amorphophallus gigas Teijsm. & Binn

Amorphophallus gigas Teijsm. & Binn   Bunga langka koleksi Kebun Raya Bogor telah mekar sempurna pada Minggu (6/10/2019) den...